Jumat, 01 Oktober 2010

0 komentar

PANCASILA DAN ISLAM

Oleh: Agus Taufik, S.I.P.


“Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam kepada Republik ini.” Ada tiga hadiah umat Islam(1) piagam Jakarta, (2) perubahan Piagam Jakarta tanggal 18 Agustus 1945; dan (3) umat Islam tidak pernah menampilkan konsepsi negara Islam secara kongkret.(Alamsyah Ratuperwiranegara;1982)

Islam dan Pancasila pada Masa Perjuangan

Sikap moderatnya umat Islam Indonesia untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah suatu hal yang luar biasa dalam rangka menunjukkan jiwa besar umat ini. Betapa tidak, umat Islam yang mayoritas di negeri ini tetapi bisa manafikkan keinginan untuk mendirikan negara Islam yang tentunya berlandaskan syariat Islam.

Sejak awal pergerakan nasional, umat Islam sudah menunjukkan loyalitasnya bagi negara. Pesantren dijadikan basis untuk mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Dari pesantrenlah muncul pemimpin-pemimpin nasional yang kelak dikemudian hari ikut menentukan nasib negeri ini. Sebut saja; K.H. Agus Salim, HOS Cokroaminnoto, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Ahmad Sanusi dan Kahar Muzzakir. Keempat orang terakhir adalah juru bicara golongan Islam di BPUPKI dalam merumuskan dasar negara Republik Indonesia yang akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 dengan menambahkan tujuh kata dalam sila pertama menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Selanjutnya dalam sidang PPKI, golongan Islam dengan jiwa yang besar demi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara rela menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta serta mengganti Allah dengan Tuhan, dan kata mukaddimah diubah menjadi pembukaan.

Walaupun banyak kalangan mengatakan bahwa hal itu adalah wujud daya tawar yang rendah golongan Islam, namun disitu pulalah letak kebesaran jiwa umat ini.

“…Indonesia yang baru lahir, bukan suatu negara Islam seperti yang dimaksud dalam konsepsi Islam ortodoks, dan juga bukan sebagai suatu negara sekuler yang memandang agama hanya sebagai masalah pribadi. Pembahasan mengenai masalah ini telah berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu dalam adanya gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan, dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya serta dalam berbagai bentuk perwujudannya, atau menurut suatu slogan yang timbul belakangan, suatu negara yang ingin memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap nation building dan character building, “pembentukan bangsa serta pembinaan watak”. Jadi, penyelesaian secara Indonesia dari masalah ini bukanlah suatu undang-undang dasar yang mempergunakan peristiwa Islam tanpa sungguh-sungguh menerima makna Islamnya, tetapi penerimaan nilai-nilai kerohanian milik bersama seperti tercantum dalam Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa.” (B.J. Boland, 1985)

Boland berpendapat bahwa Indonesia bukanlah negara theokrasi ataupun negara sekuler, jadi Indonesia adalah negara yang unik. Islam menjadi ruh negara namun tidak mewujud secara nyata.

Pancasila dan Islam pada Masa Orde Baru

Hubungan negara dengan Islam yang bersifat antagonistik terjadi pada kurun waktu 1966-1981. Umat Islam termarginalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak stigma-stigma buruk yang disematkan pada diri Umat Islam.

Akhirnya pada tahun 1982 Presiden Suharto menyampaikan pidato kenegaraannya di depan sidang pleno DPR dan memunculkan gagasan asas tunggal bagi semua ormas maupun orpol yaitu Pancasila. Pancasila sebagai asas tunggal menuai berbagai tanggapan, tetapi akhirnya bisa diterima terutama bagi umat Islam. Menteri Agama Munawir Sjadzali dalam berbagai kesempatan berupaya meyakinkan tokoh-tokoh Islam bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Menurut Menteri Agama, ada beberapa nilai dasar dalam ajaran Islam yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara:

1. perhatian yang seimbang antara kesejahteraan rohani dan kebahagiaan kehidupan duniawi;

2. pengakuan atas hak-hak perorangan, persamaan antara sesama manusia dan pemerataan keadilan;

3. sistem musyawarah dalam penanganan masalah bersama;

4. kepemimpinan adalah amanah dan tanggung jawab; dan

5. keharusan patuh dan taat kepada (para) pemegang tampuk pimpinan

Nilai-nilai dasar ini pada hakikatnya telah terumuskan dengan baik dan serasi dalam Pancasila (Munawir Sjadzali;1983). Gagasan asas tunggal ini menimbulkan pro dan kontra selama 3 tahun. Peristiwa Tanjung Priok menjadi puncak ketidaksetujuan umat Islam yang kontra terhadap asas tunggal.

Pancasila dan Islam pada Masa Kekinian

Berubahnya sistem politik menjadikan asas tunggal pada Era Reformasi ini bukanlah suatu keharusan. Semua boleh memiliki asas atau ideologi sesuai dengan keyakinan masing-masing. Awal euforia politik ditandai dengan berbagai macam ormas maupun orpol yang terang-terangan berasas Islam. Tetapi kemudian menjadi kurang efektif alias kehilangan momentum, sehingga terutama orpol yang berasas Islam tidak berani secara terang-terangan mengungkapkan konsepsi Islam dalam bernegara atau mengusung syariat Islam. Apalagi stigma teroris yang mau tidak mau sangat menyudutkan umat islam di negeri ini sampai dengan saat ini.

Last but not least, Islam sebagai ideologi tidak bisa dibandingkan dengan Pancasila. Islam adalah agama yang diturunkan Allah agar manusia selamat dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya sempurna, sedangkan Pancasila adalah hasil pemikiran manusia yang tentunya banyak kekurangan dan kelemahan. Wallahu a’lam

Rabu, 26 Mei 2010

REFORMASI BIROKRASI DI KEMENTERIAN AGAMA

0 komentar

Oleh: Agus Taufik, S.I.P.

Pendahuluan

Reformasi Birokrasi di Kementerian atau Lembaga Negara merupakan salah satu hal yang harus dilakukan apabila Kementerian/Lembaga Negara hendak mengajukan renumerasi. Bukan hanya itu, reformasi birokrasi adalah suatu keniscayaan bagi Kementerian Agama agar kinerja dalam pelayanan publik bisa semakin baik. Maklum, Kementerian Agama adalah salah satu kementerian yang mendapat sorotan tentang profesionalisme pelayanan publik serta clean governance.

Ada 3 hal yang signifikan untuk melakukan Reformasi Birokrasi di Kementerian Agama. Tiga hal tersebut adalah: pertama, akuntabilitas pelayanan publik, kedua pengembangan sumber daya birokrasi, ketiga perkembangan tekhnologi informasi.

Akuntabilitas Pelayanan Publik

Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban yang bersifat eksternal dari pihak yang menjalankan tugas (agent) kepada pihak lain yang mempunyai kuasa dan memberikan otoritas (principal). Akuntabilitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah, institusi pelayanan publik adalah subordinat dari lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden. Karena itu kerja dari institusi tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada presiden. Tetapi presiden dalam sistem politik yang demokratis harus dikontrol oleh wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif (dalam hal ini MPR dan DPR). Para wakil rakyat adalah agentnya rakyat, karena rakyatlah yang menjadi pemegang kedaulatan yang sejati dan yang kemudian memilih dan memberikan otoritas kepada wakil-wakilnya di lembaga legislatif.

Dengan kata lain bahwa pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau masyarakat. Rakyatlah yang membayar pajak untuk menggaji para wakil rakyat, pegawai dan mendanai program-program publik.

Pengembangan Sumber Daya Birokrasi

Profesionalisme birokrasi yang dituntut oleh good governance tidak terbentuk dengan sendirinya. Semua berproses dan ada upaya sadar untuk mewujudkannya yaitu dengan pengembangan sumber daya birokrasi. Beberapa starategi dalam upaya tersebut adalah sebagai berikut:

v Role Modelling yaitu sikap dan standart perilaku birokrat terbentuk antara lain karena keteladanan. Oleh karena itu sikap dan perilaku elit birokrat akan menentukan sosok profesionalisme birokrasi.

v Rekruitmen, Kondisi Kerja dan Pelatihan (Gerald:1985). Proses rekruitmen yang objektif, kondisi kerja yang kondusif dan pelatihan yang menggunakan methodik dan dedaktik yang tepat akan memunculkan sumber daya birokrasi yang profesional.

v Pendekatan Proses Belajar. Learning Process Approach sebagaimana dikemukakan oleh Korten (Korten:1981) merupakan wacana yang efektif untuk mewujudkan sumber daya birokrasi yang profesional. Pendekatan ini memberi margin toleransi yang besar bagi birokrasi untuk berbuat salah (embracing error) dalam proses pembentukan dan penyempurnaan profesionalisme karena kesalahan akan menjadi input untuk perbaikan diri. Melalui kesalahan itu birokrat akan belajar efektif (learning to be effective), dan kemudian akan melangkah menuju belajar efisien (learning to be efficient) dan akhirnya akan belajar berkembeng (learning to be expand).

Perkembangan Teknologi Informasi

Kemajuan teknologi informasi dewasa ini tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan praktis manusia. Perubahan global ini menuntut untuk diterapkannya cara kerja birokrasi dengan menggunakan teknologi informasi. Cara kerja ini akan menjadikan birokrasi tanpa batas (boundaryless organization, Ashkenas:1995). Selain itu birokrasi semacam ini akan banyak mengenalkan paperless organization (Lucas:1996)

Jika birokrasi tanpa batas dan tanpa kertas itu diberlakukan maka tatanan organisasi yang vertically operated, akan berubah menjadi lebih pendek, ramping dan permeated. Dengan demikian sesuai dengan asas demokrasi kewenangan birokrasi itu tidak hanya berada di hierarki atas (penguasa) melainkan ada dimana-mana (decentralized).

Birokrasi tanpa batas memberikan wajah baru dari birokrasi yang tidak lagi secara tegas mengikuti garis hirarki. Struktur organisasi yang bersifat ad hoc, committee, dan matrik menjadi model dari organisasi birokrasi yang akan datang.

Jika suatu kantor pemerintah, segala macam informasi dan layanan diproses menggunakan teknologi, maka suatu keharusan untuk menjadikannya sebagai salah satu kompetensi yang harus dipenuhi oleh karyawan, pejabat dan semua pelaku birokrasi pemerintahan. Informasi adalah sesuatu yang signifikan dalam proses kehidupan organisasi birokrasi baik pemerintah maupun non pemerintah. Tanpa informasi organisasi birokrasi tidak bisa melakukan apa-apa.

Reformasi Birokrasi di Kementerian Agama: Suatu Tantangan

Stigma korup dan tidak profesional selama ini disematkan pada Kementerian Agama. Bagaimana setiap tahun kritikan terhadap penyelenggaraan haji senantiasa menghunjam, sumber daya manusia (birokrasi) di kemenag dari pusat sampai daerah diidentikkan dengan kurang dari standar, rekruitmen yang masih menganut kolusi dan nepotisme adalah beberapa hal yang harus ditepis oleh Kementerian Agama dengan melaksanakan reformasi birokrasi. Tantangan ini harus dijawab oleh Kementerian Agama dengan segera. Mungkinkah? Wallahua’lam bishowab

Minggu, 28 Maret 2010

“Amien Rais dan Pluralisme Kebablasan”

0 komentar

Oleh: Dr. Adian Husaini

Tokoh senior Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Amien Rais membuat pernyataan yang mengagetkan bagi banyak kaum liberal. Dalam wawancara dengan Majalah Tabligh terbitan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, edisi Maret 2010, Amien Rais secara terbuka mengkritik tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah yang sudah secara kebablasan menyebarkan paham Pluralisme dan meninggalkan wacana Tauhid. Untuk lebih jelasnya, kita ikuti sebagian wawancara tersebut.

Pandangan Anda mengenai aliran pluralisme?
Akhir-akhir ini saya melihat istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau hidup berdamai anatar umat beragama di muka bumi.

Tidak ada yang keliru dari aliran pluralisme ?
Nah, karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh nabi sendiri itu juga penuh ajaran toleransi antar beragama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman nabi ketika umat nasrani bergabung dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah.

Apa yang dibablaskan ?
Saya prihatin ada usaha-usaha ingin membablaskan pluralisme yang bagus itu menjadi sebuah pendapat yang ekstrim, yaitu pada dasarnya mereka mengatakan agama itu sama saja. Mengapa sama saja ? Karena tiap agama itu mencintai kebenaran. Dan tiap agama mendidik pemeluknya untuk memegang moral yang jelas dalam membedakan baik dan buruk. Saya kira kalau seorang muslim sudah mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka tidak ada gunanya sholat lima waktu, bayar zakat, puasa Ramadhan, pergi haji, dan sebagainya. Karena agama jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus. Nah, kalau sampai ajaran bahwa “semua agama sama saja” diterima oleh kalangan muda Islam; itu artinya, mereka tidak perlu lagi sholat, tidak perlu lagi memegang tuntunan syariat Islam. Kalau sapai mereka terbuai dan terhanyutkan oleh pendapat yang sangat berbahaya ini akhirnya mereka bisa bergonta-ganti agama dengan mudah seperti bergonta-ganti celana dalam atau kaos kaki.

Apakah kebablasan pluralisme karena faktor kesengajaan atau rekayasa?
Saya kira jelas sekali adanya think tank atau dapur-dapur pemikiran yang sangat tidak suka kepada agama Allah kemudian membuat bualan yang kedengarannya enak di kuping: semua agama itu sama. Jika agama itu sama lantas apa gunanya ada masjid, ada gereja, ada kelenteng, ada vihara, ada sinagog, dan lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan think tank ?
Saya yakin think tank itu ada di negara-negara maju yang punya dana berlebih, punya kemewahan untuk memikirkan bagaimana melakukan ghazwul fikri (perang intelektual terhadap dunia Islam). Misalnya, kepada Dunia Islam ditawarkan paham lâ diniyah sekularisme yang menganggap agama tidak penting, termasuk di dalamnya pluralisme, yang kelihatannya indah, tapi ujung-ujungnya adalah ingin menipiskan aqidah Islam supaya kemudian kaum Muslim tidak mempunyai fokus lagi. Bayangkan kalau intelektual generasi muda Islam sudah tipis imannya, selangkah lagi akan menjadi manusia sekuler, bahkan tidak mustahil mereka menjadi pembenci agamanya sendiri.

Sepertinya aliran pluralisme itu sudah masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, pendapat Anda ?
Kalau sampai aliran pluralisme masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, ini musibah yang perlu diratapi. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebelum mereka membaca buku-buku professor dari Amerika dan Eropa, bacalah Al-Quran terlebih dahulu. Saya sendiri yang sudah tua begini, 66 tahun, sebelum saya membaca buku-buku Barat, baca Al-Quran dulu. Karena orang yang sudah baca Al-Quran, dia akan sampai pada kesimpulan bahwa berbagai ideologi yang ditawarkan oleh manusia seperti mainan anak-anak yang tidak berbobot. Jika meminjam istilah Sayyid Quthb, seorang yang duduk di bawah perlindungan Al-Quran ibarat sedang duduk di bukit yang tinggi kemudian melihat anak-anak sedang bermain-main dengan mainannya. Orang yang sudah paham Al-Quran akan bisa merasakan bahwa ideologi yang sifatnya man-made, buatan manusia, itu hanya lucu-lucuan saja. Hanya menghibur diri sesaat, untuk memenuhi kehausan intelektual ala kadarnya. Setelah itu bingung lagi.

Kenapa paham pluralisme itu bisa masuk ke kalangan muda Muhammadiyah? Apa karena Muhammadiyah terlalu terbuka atau karena sistem kaderisasi?
Hal ini perlu dipikirkan oleh pimpinan Muhammadiyah. Saya melihat, banyak kalangan muda Muhammadiyah yang sudah eksodus. Kadang-kadang masuk ke gerakan fundamentalisme, tapi juga tidak sedikit yang masuk Islam Liberal. Islam yang sudah melacurkan prinsipnya dengan berbagai nilai-nilai luar Islam. Hanya karena latah. Karena ingin mendapatkan ridho manusia, bukan ridho Ilahi. Oleh karena itu, lewat majalah Tabligh, saya ingin menghimbau kepada anak-anak saya, calon-calon intelektual Muhammadiyah, baik putra maupun putri, agar menjadikan Al-Quran sebagai rujukan baku. Saya pernah tinggal di Mesir selama satu tahun. Saya pernah diberitahu oleh doktor Muhammad Bahi, seorang intelektual Ikhwan, ketika saya bersilaturahmi ke rumah beliau, beliau mengatakan, “Hei kamu anak muda, kalau kamu kembali ke tanah airmu, kamu jangan merasa menjadi pejuang Muslim kalau kamu belum sanggup membaca Al-Quran satu juz satu hari.” Waktu itu saya agak tersodok juga, tetapi
setelah saya pikirkan, memang betul. Kalau Al-Quran sebagai wahyu ilahi yang betul-betul membawa kita kepada keselamatan dunia-akhirat, kita baca, kita hayati, kita implementasikan, kehidupan kita akan terang benderang. Tapi kalau pegangan kita pada Al-Quran itu setengah hati. Kemudian dikombinasikan dengan sekularisme, dengan pluralisme tanpa batas, dengan eksistensialisme, bahkan dengan hedonisme, maka kehidupan kita akan rusak. Sehingga betul seperti kata pendiri Muhammadiyah dalam sebuah ceramah beliau, “Ad-dâ’u musyârokatullâ hi fii jabarûtih”. Namanya penyakit sosial, politik, hukum, dan lain-lain, itu sejatinya bersumber kepada menyekutukan Allah dalam hal kekuasaannya. Obatnya bukan menambah penyakit, yakni dengan isme-isme yang kebablasan, tapi obatnya itu, “adwâ’uhâ tauhîddullâhi haqqa”obatnya adalah tauhid dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya juga ingat dengan kata-kata Mohammad Iqbal: “The sign of a kafir is that he is
lost in the horizons. The sign of a Mukmin is that the horizons are lost in him.”. Saya pernah termenung beberapa hari setelah membaca pernyataan Mohammad Iqbal yang sangat tajam itu. Karena betapa seorang mukmin akan begitu jelas, begitu paham, begitu terang benderang memahami persoalan dunia. Sedangkan orang kafir, bingung dan tersesat.

Sepertinya Muhamadiyah mulai terseret arus pluralisme, contohnya pada saat peluncuran novel Si Anak Kampoeng. Penulisnya mengatakan sebagian dari keuntungan penjualan akan digunakan untuk membentuk Gerakan Peduli Pluralisme, pandangan Anda ?
Saya tidak akan mengomentari apa dan siapa. Cuma adik saya yang anggota PP Muhammadiyah, pernah memberikan sedikit kriteria atau ukuran yang sangat bagus. Dia bilang begini, “Kalau orang Muhammadiyah sudah tidak pernah bicara tauhid dan malah bicara hal-hal di luar tauhid, apalagi kesengsrem dengan pluralisme, maka perlu melakukan koreksi diri.” Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, apakah tukang pembawa surat di kantor Muhammadiyah, apakah profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau dikemanakan Muhammadiyah? Muhammadiyah ini bisa bertahan sampai satu abad, tetap kuat, tidak pikun, dan masih segar, karena tauhidnya. Implementasi tauhidnya di bidang sosial, pendidikan, hukum, politik, itu yang menjadikan Muhammadiyah perkasa dan tidak terbawa arus.

Kamis, 18 Maret 2010

MENGENANG PROF. DR. RISWANDHA IMAWAN

0 komentar

“Gimana Komandan?” begitu Pak Ris (panggilan akrab Almarhum Prof. Dr. Riswandha Imawan) menyapa mahasiswanya. Cekatan dan selalu memakai intonasi tinggi sehingga terkesan tegas. Beliau selalu menganggap mahasiswa mempunyai potensi intelektualitas yang harus terus dikembangkan.

Beliau selalu berusaha tepat waktu dalam segala hal, apalagi jam kuliah. Pernah suatu ketika beliau mau memasuki ruangan kuliah sedangkan banyak teman-teman yang mengambil mata kuliah beliau masih asyik nongkrong disekitar ruangan, maka beliau sambil memasuki ruangan berkata, “Satu langkah di belakang saya, tidak boleh masuk!” sembari beliau menutup pintu. Banyak guyonan selama kuliah berjalan dan yang paling penting bahasanya mudah dipahami.

Yang paling saya kagumi selama ini beliau tidak berpolitik praktis, berbeda dengan Pak Amin Rais dan para intelektual lainnya yang “terjerumus” ke dalam politik praktis. Beliau tetap konsisten berada di menara gading Fisipol Universitas Gadjah Mada dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Ada lagi yang terkenang di benak saya ketika beliau menyarankan membeli bukunya Almarhum Abdul Azis Thaba, alasannya selain bagus juga untuk membantu anak-anak beliau yang masih kecil. Dan di bukunya Abdul azis Thaba saya sempat terhenyak dengan pada halaman persembahan yang berbunyi:

Buku ini dipersembahkan untuk

Syech Yusuf Tuanta Salamaka

Putera Gowa di abad tujuh belas,

Pahlawan nasional yang terlupakan

Ditakuti lawan, disegani kawan

Berarti di rantau orang, harum di negeri sendiri

Membangun bukit ilmu

Dan meraih gunung-gunung

Dari seorang putera Gowa yang lain

Tiga-empat abad kemudian

Baru mendaki bukit

Memandang gunung-gunung

Dan rantaumu belum lagi kujajaki

“jejakmu Karaeng,

Di sini sedang aku telusuri

Tala’ salapang masih kokoh berdiri”

Ada kesan yang menyentuh hati setelah membaca tulisan di atas. Semangat dan keinginan untuk maju yang sangat kuat.

“Eagle flies alone” yang selalu Pak Ris tulis di akhir tulisannya yang beliau artikan bahwa seseorang yang mempunyai prinsip dalam hidup ini akan selalu terasa sendiri. Hal ini memang saya rasakan juga dalam hidup saya. Dimana ketika kita menjadi bagian dari suatu sistem dan mencoba untuk merubah kebiasaan yang ada, kita terasa berjalan sendirian.

Hidup adalah perjuangan dan selalu ada pilihan-pilihan. Selamat jalan Pak Ris, kaki merapi masih tertancap kuat untuk menopang gunung merapi. Semoga tulisan ini bisa menjadi obat kangenku pada semua guru-guruku dari TK sampai dengan Perguruan Tinggi.

Followers

 

FORUM KIBLAT. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com