PANCASILA DAN ISLAM
Oleh: Agus Taufik, S.I.P.
“Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam kepada Republik ini.” Ada tiga hadiah umat Islam(1) piagam Jakarta, (2) perubahan Piagam Jakarta tanggal 18 Agustus 1945; dan (3) umat Islam tidak pernah menampilkan konsepsi negara Islam secara kongkret.(Alamsyah Ratuperwiranegara;1982)
Islam dan Pancasila pada Masa Perjuangan
Sikap moderatnya umat Islam Indonesia untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah suatu hal yang luar biasa dalam rangka menunjukkan jiwa besar umat ini. Betapa tidak, umat Islam yang mayoritas di negeri ini tetapi bisa manafikkan keinginan untuk mendirikan negara Islam yang tentunya berlandaskan syariat Islam.
Sejak awal pergerakan nasional, umat Islam sudah menunjukkan loyalitasnya bagi negara. Pesantren dijadikan basis untuk mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Dari pesantrenlah muncul pemimpin-pemimpin nasional yang kelak dikemudian hari ikut menentukan nasib negeri ini. Sebut saja; K.H. Agus Salim, HOS Cokroaminnoto, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wachid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Ahmad Sanusi dan Kahar Muzzakir. Keempat orang terakhir adalah juru bicara golongan Islam di BPUPKI dalam merumuskan dasar negara Republik Indonesia yang akhirnya menghasilkan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 dengan menambahkan tujuh kata dalam sila pertama menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Selanjutnya dalam sidang PPKI, golongan Islam dengan jiwa yang besar demi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara rela menghapus tujuh kata dalam piagam Jakarta serta mengganti Allah dengan Tuhan, dan kata mukaddimah diubah menjadi pembukaan.
Walaupun banyak kalangan mengatakan bahwa hal itu adalah wujud daya tawar yang rendah golongan Islam, namun disitu pulalah letak kebesaran jiwa umat ini.
“…Indonesia yang baru lahir, bukan suatu negara Islam seperti yang dimaksud dalam konsepsi Islam ortodoks, dan juga bukan sebagai suatu negara sekuler yang memandang agama hanya sebagai masalah pribadi. Pembahasan mengenai masalah ini telah berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu dalam adanya gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan, dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya serta dalam berbagai bentuk perwujudannya, atau menurut suatu slogan yang timbul belakangan, suatu negara yang ingin memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap nation building dan character building, “pembentukan bangsa serta pembinaan watak”. Jadi, penyelesaian secara Indonesia dari masalah ini bukanlah suatu undang-undang dasar yang mempergunakan peristiwa Islam tanpa sungguh-sungguh menerima makna Islamnya, tetapi penerimaan nilai-nilai kerohanian milik bersama seperti tercantum dalam Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa.” (B.J. Boland, 1985)
Boland berpendapat bahwa Indonesia bukanlah negara theokrasi ataupun negara sekuler, jadi Indonesia adalah negara yang unik. Islam menjadi ruh negara namun tidak mewujud secara nyata.
Pancasila dan Islam pada Masa Orde Baru
Hubungan negara dengan Islam yang bersifat antagonistik terjadi pada kurun waktu 1966-1981. Umat Islam termarginalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak stigma-stigma buruk yang disematkan pada diri Umat Islam.
Akhirnya pada tahun 1982 Presiden Suharto menyampaikan pidato kenegaraannya di depan sidang pleno DPR dan memunculkan gagasan asas tunggal bagi semua ormas maupun orpol yaitu Pancasila. Pancasila sebagai asas tunggal menuai berbagai tanggapan, tetapi akhirnya bisa diterima terutama bagi umat Islam. Menteri Agama Munawir Sjadzali dalam berbagai kesempatan berupaya meyakinkan tokoh-tokoh Islam bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Menurut Menteri Agama, ada beberapa nilai dasar dalam ajaran Islam yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara:
1. perhatian yang seimbang antara kesejahteraan rohani dan kebahagiaan kehidupan duniawi;
2. pengakuan atas hak-hak perorangan, persamaan antara sesama manusia dan pemerataan keadilan;
3. sistem musyawarah dalam penanganan masalah bersama;
4. kepemimpinan adalah amanah dan tanggung jawab; dan
5. keharusan patuh dan taat kepada (para) pemegang tampuk pimpinan
Nilai-nilai dasar ini pada hakikatnya telah terumuskan dengan baik dan serasi dalam Pancasila (Munawir Sjadzali;1983). Gagasan asas tunggal ini menimbulkan pro dan kontra selama 3 tahun. Peristiwa Tanjung Priok menjadi puncak ketidaksetujuan umat Islam yang kontra terhadap asas tunggal.
Pancasila dan Islam pada Masa Kekinian
Berubahnya sistem politik menjadikan asas tunggal pada Era Reformasi ini bukanlah suatu keharusan. Semua boleh memiliki asas atau ideologi sesuai dengan keyakinan masing-masing. Awal euforia politik ditandai dengan berbagai macam ormas maupun orpol yang terang-terangan berasas Islam. Tetapi kemudian menjadi kurang efektif alias kehilangan momentum, sehingga terutama orpol yang berasas Islam tidak berani secara terang-terangan mengungkapkan konsepsi Islam dalam bernegara atau mengusung syariat Islam. Apalagi stigma teroris yang mau tidak mau sangat menyudutkan umat islam di negeri ini sampai dengan saat ini.
Last but not least, Islam sebagai ideologi tidak bisa dibandingkan dengan Pancasila. Islam adalah agama yang diturunkan Allah agar manusia selamat dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya sempurna, sedangkan Pancasila adalah hasil pemikiran manusia yang tentunya banyak kekurangan dan kelemahan. Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar