kispa.org - Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita semua bahwa umat Islam itu laksana satu bangunan yang kokoh, di mana jika ada satu bagian yang disakiti, maka bagian yang lain juga turut merasakan. Satu merasakan lapar, maka yang lain harus bersikap empati untuk tidak berfoya-foya menghamburkan uang. Inilah yang saya ingat kuat-kuat dan saya berusaha untuk sekuat mungkin tidak ingin melukai perasaan saudara-saudara seiman saya.
Beberapa hari lalu, sejumlah teman mengajak saya berikut keluarga untuk pergi ke Bali. Kata teman saya, agenda utamanya adalah Mukernas sebuah partai politik. “Di Bali, partai kita akan menjadi partai politik terbuka, tidak lagi ekslusif. sebab itu Pulau Bali ditunjuk sebagai lokasi penyelenggaraan mukernas, ” ujarnya.
Saya sudah lama mendengar rencana ini. Bahkan saya tahu siapa aktor utama di belakang pemilihan Bali sebagai lokasi Mukernas. Pulau Bali sengaja dipilih agar partai politik yang awalnya berangkat dari kalangan pengajian ini dianggap sebagai partai terbuka. Sah-sah saja alasan demikian. Namun saya secara pribadi agak bingung rasionalisasi dari rencana itu. Saya pernah tinggal selama setengah tahun di Bali, dan saya tahu persis bahwa Bali itu hidup cuma malam hari, siang sepi sunyi. Saya tidak sampai hati mengatakan bahwa di sana itu gudangnya maksiat, tapi itulah yang saya alami sendiri.
Mengetahui saya agak berat untuk ikut ke Bali, kawan saya mencoba membujuk. “Di Bali, kita tidak hanya mukernas, tapi juga rihlah, sebab itu kita juga mengajak keluarga kita semua. Bahkan beberapa biro perjalanan sudah menyatakan mau bekerjasama…, ” ujarnya lagi.
Astaghfirullah… saya mengurut dada. Belum kering lidah ini berteriak-teriak selamatkan Muslim Gaza dalam demo kemarin di Jakarta, sekarang demikian mudahnya memikirkan rihlah, ke Bali pula… Ketika saat berteriak-teriak selamatkan Muslim Gaza kita hanya menyumbangkan One Man One Dollar. Tapi ke Bali…? Tentu berlipat-lipat dollar yang harus dikeluarkan dari kantong kita… Dan sungguh, uang yang kita keluarkan tentu banyak yang tidak mengalir ke kantong saudara-saudara seiman kita di sana… Bahkan bukan mustahil, uang yang keluar dari dompet kita akan mengalir ke Israel, karena banyak resor dan penginapan di Bali melakukan promosi besar-besaran dengan berbagai perusahaan dan media massa Zionis-Israel.
Saya masih terdiam. Saya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang berkecamuk di dalam dada saya. Sebagai seorang kader inti yang sudah mengaji sejak tahun 1980-an, seharusnya dia tahu apa yang membuat saya sangat berat untuk ikut ke Bali. …Saudara-saudara kita di Gaza, Falujah, kelaparan, hidup bagaikan di dalam neraka, kita di sini malah sibuk memikirkan rihlah ke Bali. Ya Allah… ampunilah hamba-Mu yang dhaif ini karena akal hamba tidak mampu menemukan urgensi antara Bali dengan Gaza…
Saya akhirnya menggeleng. Saya tidak sampai hati bersenang-senang, bermalam di kamar ber-AC, menikmati breakfast, lunch, dan dinner di hotel yang berkecukupan, pergi ke pantai di antara jejeran tubuh bugil para turis bule, sedangkan saudara-saudara saya di Gaza, Falujah, dan di belahan bumi lainnya masih hidup bagaikan di neraka jahanam. Saya tidak tega.
Kawan saya akhirnya menyerah. Dia tetap pergi bersama keluarganya ke Bali. Saya pulang malam itu dengan langkah gontai. Menyusuri gelapnya jalanan kompleks.
Ya Allah… Kian hari, saya kian merasa sendiri… Kian hari saya kian merasa terasing dari kawan-kawan sendiri… kian hari kian merasa sunyi…. kian terasa senyap dan perih…. Saya mencoba menghibur diri, “Toh, jika kita mati, kita pun akan sendirian…”
(Elegi akhir Januari 2008). (eramuslim/fn)
http://www.kispa.org/index.php/view/berita/datetimes/2008-01-30+13%3A55%3A32
Beberapa hari lalu, sejumlah teman mengajak saya berikut keluarga untuk pergi ke Bali. Kata teman saya, agenda utamanya adalah Mukernas sebuah partai politik. “Di Bali, partai kita akan menjadi partai politik terbuka, tidak lagi ekslusif. sebab itu Pulau Bali ditunjuk sebagai lokasi penyelenggaraan mukernas, ” ujarnya.
Saya sudah lama mendengar rencana ini. Bahkan saya tahu siapa aktor utama di belakang pemilihan Bali sebagai lokasi Mukernas. Pulau Bali sengaja dipilih agar partai politik yang awalnya berangkat dari kalangan pengajian ini dianggap sebagai partai terbuka. Sah-sah saja alasan demikian. Namun saya secara pribadi agak bingung rasionalisasi dari rencana itu. Saya pernah tinggal selama setengah tahun di Bali, dan saya tahu persis bahwa Bali itu hidup cuma malam hari, siang sepi sunyi. Saya tidak sampai hati mengatakan bahwa di sana itu gudangnya maksiat, tapi itulah yang saya alami sendiri.
Mengetahui saya agak berat untuk ikut ke Bali, kawan saya mencoba membujuk. “Di Bali, kita tidak hanya mukernas, tapi juga rihlah, sebab itu kita juga mengajak keluarga kita semua. Bahkan beberapa biro perjalanan sudah menyatakan mau bekerjasama…, ” ujarnya lagi.
Astaghfirullah… saya mengurut dada. Belum kering lidah ini berteriak-teriak selamatkan Muslim Gaza dalam demo kemarin di Jakarta, sekarang demikian mudahnya memikirkan rihlah, ke Bali pula… Ketika saat berteriak-teriak selamatkan Muslim Gaza kita hanya menyumbangkan One Man One Dollar. Tapi ke Bali…? Tentu berlipat-lipat dollar yang harus dikeluarkan dari kantong kita… Dan sungguh, uang yang kita keluarkan tentu banyak yang tidak mengalir ke kantong saudara-saudara seiman kita di sana… Bahkan bukan mustahil, uang yang keluar dari dompet kita akan mengalir ke Israel, karena banyak resor dan penginapan di Bali melakukan promosi besar-besaran dengan berbagai perusahaan dan media massa Zionis-Israel.
Saya masih terdiam. Saya tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang berkecamuk di dalam dada saya. Sebagai seorang kader inti yang sudah mengaji sejak tahun 1980-an, seharusnya dia tahu apa yang membuat saya sangat berat untuk ikut ke Bali. …Saudara-saudara kita di Gaza, Falujah, kelaparan, hidup bagaikan di dalam neraka, kita di sini malah sibuk memikirkan rihlah ke Bali. Ya Allah… ampunilah hamba-Mu yang dhaif ini karena akal hamba tidak mampu menemukan urgensi antara Bali dengan Gaza…
Saya akhirnya menggeleng. Saya tidak sampai hati bersenang-senang, bermalam di kamar ber-AC, menikmati breakfast, lunch, dan dinner di hotel yang berkecukupan, pergi ke pantai di antara jejeran tubuh bugil para turis bule, sedangkan saudara-saudara saya di Gaza, Falujah, dan di belahan bumi lainnya masih hidup bagaikan di neraka jahanam. Saya tidak tega.
Kawan saya akhirnya menyerah. Dia tetap pergi bersama keluarganya ke Bali. Saya pulang malam itu dengan langkah gontai. Menyusuri gelapnya jalanan kompleks.
Ya Allah… Kian hari, saya kian merasa sendiri… Kian hari saya kian merasa terasing dari kawan-kawan sendiri… kian hari kian merasa sunyi…. kian terasa senyap dan perih…. Saya mencoba menghibur diri, “Toh, jika kita mati, kita pun akan sendirian…”
(Elegi akhir Januari 2008). (eramuslim/fn)
http://www.kispa.org/index.php/view/berita/datetimes/2008-01-30+13%3A55%3A32
0 komentar:
Posting Komentar